TAK ETIS MENGEKSPLOITASI ANAK JADI OBYEK IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Hingga saat ini ternyata masih banyak dijumpai iklan-iklan produk (generic advertising) yang kurang etis, yang tidak mematuhi tata krama dan tata cara yang telah di tentukan.

Dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) disebutkan bahwa anak-anak tidak boleh dipakai (sebagai model) untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak. Kalimat ini dapat diartikan bahwa anak-anak tidak selayaknya dijadikan obyek sebuah iklan, dimana produk yang ditawarkan didalamnya tidak atau belum layak dikonsumsi oleh mereka. Namun ternyata masih banyak iklan produk atau jasa yang masih menggunakan anak-anak sebagai obyeknya, baik dalam bentuk gambar di media cetak (printed media), audial (suara) melalui gelombang radio maupun secara audio-visual (suara dan gambar) pada layar TV (swasta).

Kecenderungan pihak pemasang iklan (pengiklan), pembuat iklan atau agen periklanan (advertising agency) dalam hal memanfaatkan potensi seorang anak sebagai model iklan, dengan tidak memperhatikan segi etis periklanan, lebih memperhatikan adanya usaha (disadari atau tidak) untuk mengeksploitasi mereka. Dari sini jelas bahwa batasan eksploitasi akan dipahami secara baik dengan terlebih dahulu melihat, jenis ikla produk apa yang menggunakan anak-anak sebagai �bintang� iklannya.

Kalau saja seorang anak dipakai sebagai model iklan dari sebuah perusahaan pemroduksi coklat atau kembang gula, tentu saja tidak menyalahi etika yang berlaku. Karena produk-produk seperti itulah yang biasa dikonsumsi oleh anak-anak. Terlepas dari masalah kesehatan gigi bagi anak-anak. Atau yang lebih bersifat konstruktif adalah iklan sebuah jasa Bank, dimana terdapat jenis tabungan yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak. Iklan seperti ini dapat menumbuhkan sikap hemat dengan membiasakan menabung semenjak usia dini.

Tetapi jika anak-anak dipakai sebagai obyek untuk mengiklankan produk seperti mobil, mesin cuci atau rumah disebuah kawasan pemukiman yang baru, agaknya ini kurang dapat diterima dan dibenarkan, sekaligus melanggar etika periklanan.

Setiap kali membuka halaman demi halaman majalah atau surat kabar, mendengarkan radio, atau menonton TV, sering dijumpai iklan-iklan yang kurang etis. Karena kekaguman kita pada trick yang telah dirancang dalam sebuah iklan, maka sering tidak disadari bahwa hal itu merupakan usaha untuk menarik perhatian (capture attention) kita. Bila usaha tersebut berhasil, maka pihak pembuat iklan akan mempertahankan perhatian tadi (hold attention) yang kemudian dilanjutkan dengan tahap menggerakkan calon konsumen untuk bertindak (make usefull). Ketiga tahapan ini semuanya tertuang di dalam iklan.

Perusahaan mobil Toyota telah memproduksi jenis iklan ini. Lihat saja di halaman majalah atau surat kabar terpampang dalam ukuran display, dimana iklan tersebut berbunyi: �Sudahkah anda termasuk dalam 14.000.000 pemilik Corolla di seluruh dunia?�, kemudian perusahaan elektronik terkemuka Toshiba yang merancang kalimat iklannya seperti ini: �Lho, mesin cuci ini koq tidak berisik�!�.

Kedua iklan di atas menggunakan anak-anak sebagai model iklannya. Yang pertama menggambarkan dua orang anak tengah mengintip ke dalam mobil jenis Corolla. Sedangkan yang kedua, poster iklannya dirancang dengan visualisasi seorang anak berpakaian dokter yang tengah memeriksa sebuah mesin cuci dengan stetoskop. Timbul pertanyaan, apakah anak-anak sudah layak mengkonsumsi sebuah kendaraan atau seperangkat mesin cuci. Kalau belum, maka harus diakui bahwa kedua bentuk iklan di atas sudah menyalahi apa yang disyaratkan di dalam TKTCPI.

Tipu Daya Iklan dan Alternatif

Tipu daya iklan (advertising gimmick) adalah usaha apa saja yang dilakukan pihak yang menginginkan keuntungan melalui iklan sebagai mediumnya tanpa pertimbangan etis dan moral. Etis atau tidak sebuah iklan agaknya bukan hal yang terlalu prinsipil. Yang penting, masyarakat sebagai calon konsumen digiring sesegera mungkin mengambil keputusan untuk membeli produk atau jasa yang diiklankan.

Pakar pemasaran, Frank Jefkins, dalam bukunya �Introduction to Marketing, Advertising and Public Relation� (1983) mengingatkan, bahwa kegiatan periklanan harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak berlebihan dalam pernyataan-pernyataan, agar masyarakat tidak curiga terhadap pesan, sehingga pesan itu dapat diterima dengan baik.

Mengenai mesin cuci, rasanya masyarakat yang mengkonsumsi alat keperluan rumah tangga ini tidak hanya memperhatikan tingkat kebisingan untuk membuat keputusan membelinya atau tidak. Tetapi yang diinginkan adalah kemampuan kerja mesin cuci untuk menghasilkan cucian yang bersih. Pemakaian anak-anak dalam iklan ini hanyalah sebagai kiat membangkitkan perhatian saja, yang oleh Otto Kleppner diklasifikasikan pada tingkat the Pioneering stage.

Tetapi yang menjadi masalah sekarang adalah bukan bagaimana tahap-tahap sebuah iklan --secara teoritis-- dihidangkan kepada masyarakat. Mengenai tahapan ini, bisa saja disusun sesuai kebijaksanaan dari masing-masing pengiklan. Namun masalah yang dirasakan mendesak untuk segera dipecahkan adalah bagaimana �mengetiskan� iklan, khususnya yang menggunakan anak-anak sebagai obyek. Ini perlu untuk menghindari tipu daya iklan yang seringkali merugikan konsumen.

Anak-anak telah menjadi alternatif model iklan yang dipandang potensial. Premis ini dapat dibuktikan kebenarannya dengan memperhatikan iklan-iklan, seperti mulai dari snack, coklat, sampai mobil atau rumah. Singkatnya, golongan usia dini ini telah dipergunakan sebagai alat dan juga kiat untuk mengajak konsumen mengkonsumsi berbagai produk.

Jangkauan (range) media massa adalah sangat luas, yang berarti mampu ditangkap oleh masyarakat dalam jumlah yang besar. Karena iklan dan media massa saling berkaitan --ibarat ikan dan air-- maka iklan juga diterima secara meluas dalam masyarakat yang heterogen.

Kesenjangan Sosial

Adanya iklan di majalah atau surat kabar, radio dan televisi yang menggambarkan bagaimana seorang anak merasa �puas� jika telah memiliki mobil atau mesin cuci, walau mereka sebenarnya belum saatnya mengkonsumsi benda-benda tersebut. Secara psikologis akan membuat �iri hati� anak-anak yang secara kebetulan menikmati iklan tersebut. Jika secara emosional mereka dikatakan masih labil, maka tingkah laku yang mencerminkan rasa rendah diri atau bahkan tidak percaya diri, akan memunculkan pribadi yang kurang menguntungkan bagi si anak.

Seorang anak yang tinggal dalam keluarga dengan status ekonomi serba kekurangan, mungkin merasa minder tatkala di halaman sekolah ia menjumpai teman sekelasnya yang diantar mobil. Dan �astaga, mobil itu jenisnya mirip dengan yang dilihat anak tersebut di halaman sebuah Koran bekas di rumahnya.

Ini hanya contoh kecil saja yang mungkin berguna untuk ditelaah ulang, khususnya oleh para praktisi periklanan di Indonesia. Mengeksploitasi anak-anak di dalam iklan memang baru dianggap sebagai masalah kecil, tetapi akan menjadi masalah besar jika tidak dari sekarang kita mau peduli, memikirkannya.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 22 Desember 1991
0 Comments and Thoughs for "TAK ETIS MENGEKSPLOITASI ANAK JADI OBYEK IKLAN"