MUSIK DAN LAGU SEBAGAI IDENTITAS PRODUK

Oleh Deddy H. Pakpahan

Musik dan lagu, menurut opini universal manusia merupakan media pengungkap perasaan dan jiwa yang paling ekspresif dan paling �mengena�. Maksudnya, tatkala seseorang sedang dilanda pilu, ia cenderung mendengarkan lagu dengan intonasi musik berirama sendu dan mendayu-dayu. Namun apabila dewi keberuntungan tengah memayungi nasibnya, yang berarti ia tengah bersukacita, maka lagu dengan beat kegembiraan dipersilahkan mengalun ditelinganya.

Begitulah pendeskripsian sederhana yang bisa dan acap kali ungkapkan terhadap musik dan lagu yang beraneka jenisnya. Dari musik irama gurun pasir, keroncong, pop, blues, rock, dangdut sampai jazz. Dari lagu-lagu bernada cengeng (yang pernah dilarang pemerintah), nada kegelisahan sosial, romantis, sampai lagu-lagu yang mampu membuat hati berbinaar-binar.

Dalam mempersiapkan sebuah iklan untuk ditampilkan pada media elektronik (TV dan radio), unsur musik dan lagu sebagai efek audio yang susun sedemikian rupa untuk mengiringi iklan tersebut, sering kurang memperoleh perhatian serius. Tidak sedikit iklan radio maupun TV mengabaikan kedua unsur ini, dengan anggapan tidak memberikan efek positif, dan bahkan ada iklan TV/radio yang menanggalkan unsur musik dan lagu dengan hanya mengandalkan narasi dari dua orang atau lebih. Padahal, baik musik maupun lagu, di dalam iklan media elektronik memiliki fungsi yang cukup vital, yakni untuk mempertajam daya ingat audience terhadap suatu produk. Musik serta lagu yang diciptakan secara khusus untuk suatu produk, tidak berlebihan bila disebut sebagai identitas atau jatidiri dari produk tersebut.

Untuk menguji terdapatnya korelasi tidak negatif antara musik dan lagu dengan daya ingat pendengar radio atau pemirsa TV terhadap suatu sajian iklan, sebagai dasarnya bisa dikorek dengan mengamati sajian beberapa iklan media elektronik seperti di bawah ini.

Ketika kita mendengar lantunan musik dan lirik lagu, �Rasa lezat, hidup sehat, dunia cerah � susu saya, susu �� (susu apa?), walau belum habis ditendangkan, ingatan kita pasti langsung disadarkan pada jingle iklan susu Bendera. Kemudian ini, �Dunia berputar ..� dan berakhir dengan �segarnya duniaku�� pasti ingatan kita akan tertumpu pada iklan sabun Lux. Satu lagi contoh,�sejak pertama� senyummu� dan diakhiri dengan ��kuingin dunia tahu�� itu sebagian lirik lagu pasta gigi Close-Up, jawab kita spontan. Berangkat dari sini, maka kita akan setuju dengan premis yang mengatakan, bahwa lantunan musik plus lirik lagu yang diciptakan khusus untu suatu produk, mampu menggugah daya ingat manusia terhadap keberadaan produk tersebut.

Pengaruh Media

Masing-masing media massa jika dibandingkan antara satu dengan lainnya memiliki ciri-ciri yang berbeda. Kharakteristik media yang demikian memunculkan dua kutub, yakni kutub keunggulan dan kutub kelemahan. Setiap media memiliki kedua kutub ini. Bisa didengarkannya musik dan lagu atau semua suara yang bersifat auditif oleh panca indera pendengaran manusia, merupakan kutub keunggulan yang dimiliki oleh media elektronik. Kalau memang begitu, maka penggarap iklan-iklan dalam wujud audio (pada radio) dan audio-visual (pada TV) yang tidak memanfaatkan keunggulan tersebut, boleh dikatakan telah �melupakan� apa yang seharusnya dilakukan.

Dalam bukunya yang berjudul Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia (1992), Rhenald Kasali --pengarangnya-- memaparkan sekelumit ihwal musik di dalam iklan. Katanya, musik yang sederhana dan mudah, baik nada maupun liriknya, akan lebih diingat atau bahkan dinyanyikan oleh pendengarnya dalam berbagai kesempatan. Argumentasi ini bisa diuji secara praktis dengan mengambil contoh potongan lirik lagu (dan membayangkan alunan musiknya) iklan Susu Bendera, Lux, atau Close-Up seperti diatas.memang terbukti, secara sadar atau tidak disadari kerap kali kita mendendangkan lirik lagu iklan dalam suatu kesempatan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Kekuatan sebuah iklan, yakni tingkat keefektifannya dalam mempengaruhi reaksi individual, amat dipengaruhi oleh tingkat keunggulan media yang dipilih sebagai �wadahnya�. Namun bukan berarti kutub kelemahan tidak dipertimbangkan. Radio misalnya, media ini dipandang hanya sebagai �media sambilan�, yakni media yang tidak menuntut tingkat keseriusan tinggi dari pendengarnya pada saat menerima pesan-pesannya. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi, pandangan yang menyebut bahwa radio adalah media sambilan lebih merupakan Weakness Factor dari media radio (yang kita bicarakan adalah radio siaran).

Mendengar radio bisa sambil ngobrol dengan seorang sahabat. Tetapi coba tatkala membaca Koran, apakah kita bisa mengerti isi ulasan tajuk rencana, manakala seorang sahabat kita terus mengajak kita berbincang. Kalaupun mengerti, pemahaman kita pasti akan terbias karena situasi yang tidak menopang, ini hanya sekedar contoh. Dari salah satu kelemahan radio inilah --dimana tingkat keseriusan pendengar tidak sepenuhnya bisa dikondisikan dengan isi pesan�maka pendengar radio sebenarnya memerlukan kadar stimuli yang lebih tinggi agar bisa dilibatkan dalam proses komunikasi bermedia itu.

Azas format-driven yang dimiliki radio, dimana khalayak pendengar cenderung loyal terhadap sebuah stasiun radio --jika format siaran radio dirasakan sesuai / cocok--merupakan kutub keunggulan yang dimiliki media radio. Yang ada tinggal bagaimana membubuhi kadar stimuli yang lebih tinggi pada setiap jenis pesan yang akan disalurkan malalui radio. Termasuk pula pesan-pesan promosi iklan.

Bagaimana pula halnya dengan media TV? Media ini menganut azas programme-driven, dimana audience-nya cenderung bergerak dari program acara satu ke program acara lainnya. Atau dari stasiun TV satu ke stasiun TV lainnya. Sewaktu TV swasta baru mengudara, masyarakat pemirsa pasti penasaran ingin menyaksikan seperti apa sih iklan TV swasta? Karena sifat manusia yang menginginkan hal yang serba baru (novelty) itulah, yang juga menyebabkan mereka bosan dengan siaran iklan. Sekarang atau suatu saat nanti.

Azas programme-driven yang dimiliki TV, jelas merupakan sisi kelemahan. Kalau dihubungkan dengan masalah strategi beriklan di media TV, kadar stimuli yang integral di dalam iklan seyogyanya didongkrak terus-menerus.

�Tidak kenal maka tak sayang�. Dalam hal strategi promosi sebuah produk, ungkapan klasik ini bisa dinilai sebagai basic dalam menjual. Banyak usaha promosi produk kandas karena calon konsumen kurang mengenal produk yang ditawarkan. Di sini produk menuntut diberikan semacam identitas, entah dari merek kualitasnya atau kekhasan iklan produk tersebut. Salah satu cara yang bisa ditempuh dalam melahirkan iklan yang �lain dari pada yang lain� adalah dengan menciptakan lagu atau memberi ilustrasi musik (instrumental) pada pesan-pesan iklan di media elektronik.

Pendapat Kasali diatas benar, bahwa kita acapkali mendendangkan syair lagu iklan. Tetapi apa kata David Ogilvy dalam bukunya Confessions of an Advertising Man (10th; 1985) mengenai lagu yang terdapat didalam iklan. Katanya, janganlah menyanyikan pesan iklan, karena menjual (maksudnya memasarkan produk melalui kiat beriklan) adalah aktivitas bisnis yang serius. Lebih lanjut Ogilvy mengatakan, �The purpose of an commercial is not to entertaint the viewer, but to sell him�. Disini Ogilvy menekankan pada iklan dimedia TV. Dan coba simak apa yang ditulis Courtland L. Bovee dan William F. Arens dalam buku mereka Contemporary Advertising (1986), dimana mereka menyebutkan bahwa tidak memiliki hasil riset yang mendukung untuk mengatakan, bahwa jingle di dalam iklan lebih lemah dalam mempersuasi pendengar dibandingkan perbincangan.

Dari argumentasi yang dimunculkan diatas terlihat adanya kontradiksi mengenai lagu (juga musik tentunya) di dalam iklan. Kasali lebih mempertimbangkan bahwa lirik lagu plus musik yang mengiringi iklan jika digarap sesederhana mungkin, tanpa kehilangan sisi estetikanya, akan mudah didendangkan orang. Secara implisit produk telah memiliki identitas, bila lirik dan musik yang ada memang diciptakan khusus untuk produk yang bersangkutan.

Ogilvy juga benar dengan pernyataannya bahwa beriklan adalah aktivitas bisnis yang serius. Bovee dan Arens agaknya memiliki argumentasi yang mampu menengahi dua sisi perbedaan pendapat itu. Dari pemahaman mendasar kita terhadap karakteristik media elektronik, dimana sifat auditif merupakan kutub keunggulan yang ditakdirkan kepadanya, dapatlah disimpulkan, bahwa musik dan lagu sebaiknya diintegrasikan ke dalam iklan media elektronik.

Musik dan lagu yang dibuat secara khusus untuk suatu produk, selain akan mampu meningkatkan kadar stimulus yang nantinya diharapkan sigap dalam menstimuli calon konsumen, disadari atau tidak telah menjadi identitas suatu produk. Namun yang sering menjadi kendala adalah bagaimana menciptakan musik dan lagu yang sinkron image produk.

Solusinya mungkin bisa diterima saran Ogilvy, bahwa periklanan mesti dilakoni seserius dan semaksimal mungkin. Termasuk pula dalam hal keseriusan menciptakan musik dan lagu di dalam iklan. Bukan lagu yang asal bunyi, tentunya. ��kuingin dunia tahu��.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 15 November 1992
0 Comments and Thoughs for "MUSIK DAN LAGU SEBAGAI IDENTITAS PRODUK"