MENGOPTIMALKAN DAYA TARIK PADA MODEL IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Aktris Marissa Haque dipilih sebagai model untuk iklan Suzuki Forsa Esteem. Aktor film komedi Didi Petet tampil dalam iklan permen Nano-Nano, produksi Nimm�s. Zoraya Perucha turut menghiasi iklan kopi Nescafe. Iklan sabun cuci So-Klin mengetengahkan bintang gaek, Titik Puspa.

Koes hendratmo tidak mau ketinggalan. Senyum master of ceremony (MC) yang satu ini agaknya pernah komersil untuk iklan obat Stop Cold. Kalau ditanya, siapa pelawak yang acap menyebut �Cup�cup�cup�, Ajinomoto�, segera kita akan menjawab (alm) S. Bagio.

Bukan iklan-iklan produksi domestik saja yang tampil demikian. Kalau saja semua itu merupakan kiat beriklan, iklan-iklan mancanegara pun banyak yang menggunakannya. Lihat saja misalnya perusahaan jasa penerbangan Cathay Pacific yang beberapa waktu lalu mengontak petenis caliber dunia Michael Chang sebagai model dalam salah satu iklannya.

Terlepas dari masalah berapa besar kocek yang mesti dikeluarkan untuk menebus akting para model iklan, atau mengenai kasus gugatan model iklan yang dialamatkan kepada pengiklan karena sang model yang tidak tahu-menahu perihal pemuatan dirinya sebagai model (dengan lain perkataan, pengiklan telah melakukan invasion of privacy terhadap model), tulisan ini hendak mencoba menyoroti sejauh mana model berperan di dalam komunikasi periklanan. Selain itu akan dicoba untuk menelaah apakah model iklan memiliki pengaruh terhadap setiap keputusan yang akan diambil oleh calon konsumen.

Dua Alternatif

Pada prinsipnya, hanya terdapat dua alternatif yang bisa dipilih dalam menentukan model iklan. Pertama, memilih orang-orang yang sudah dikenal oleh masyarakat luas (semacam public figure). Sedangkan alternatif kedua, yakni menjatuhkan pilihan model iklan pada orang-orang yang unfamiliar bagi khalayak umum.

Untuk contoh iklan yang tidak mempraktekkan kiat serupa, mungkin kita bisa melihat pada salah satu iklan produk hair tonic merek Neril, Exadon atau iklan Gudang Garam Filter.

Iklan Neril memuat empat orang model (satu pria dan tiga orang wanita). Mereka yang tampaknya pemakai setia hair tonic itu berkomentar tentang daya kerja Neril yang efektif untuk mencegah rambut rontok. Namun kita tidak mengenal keempat model itu.

Kemudian model pada iklan obat sakit kepala Exadon yang berakting dengan kepala terbanting. Saya, dan hampir dapat dipastikan anda juga, tidak mengenal siapa dia. Seorang pria yang memamerkan nikmatnya menghisap sebatang rokok di dalam iklan Gudang Garam, pun nasibnya sama, tidak kita kenal, baik nama apalagi asal-usulnya.

Sebagai Komunikator

Tujuan pamungkas yang direkayasa dari proses komunikasi promosi melalui iklan adalah terciptanya respons positif calon konsumen di pasaran. Pesan iklan yang disalurkan diharapkan mampu menghasilkan tanggapan yang efektif (effective response). Artinya, secara akumulatif calon konsumen tergerak untuk mengkonsumsi produk yang ditawarkan.

Berorientasi pada tujuan komunikasi periklanan yang barusan kita singgung, maka memilih dan menempatkan model iklan merupakan salah satu tugas yang integral dengan fase-fase menyusun strategi beriklan, model iklan juga merupakan �sumber� (source) dari pesan-pesan yang akan dilancarkan. Pendeknya, langsung atau tidak langsung, tersamar atau transparan, model iklan bertindak pula sebagai komunikator.

Apabila kita mau mampir sebentar di terminal teori-teori komunikasi, kemudian membatasi pemikiran pada ihwal proses komunikasi itu sendiri, maka akan diperoleh formulasi-formulasi ideal. Dikatakan, peran komunikator sebagai komponen utama akan dipandang efektif bila di dalam proses komunikasi tersebut terdapat unsur kepercayaan kepada komunikator (source credibility) dari khalayak penerima pesan. Selain itu, sebagai unsur kedua, kemampuan komunikator menciptakan daya tarik (source attractiveness) juga memiliki peran strategis.

Baik kepercayaan maupun daya tarik, semuanya lebih ditentukan oleh posisi diri dan kepentingan para penerima pesan. Bila ingin mendapatkan informasi yang benar dan obyektif, maka kredibilitas komunikator dapat diukur dari back-ground, pendidikan misalnya, yang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan. Unsur daya tarik komunikator akan dijadikan pertimbangan oleh khalayak tatkala keinginan menyalurkan apa yang terkandung di dalam sisi emosionalnya mendominasi.

Agar sajian premis-premis yang bertolak dari dunia teoritis ini tidak mengaburkan pemahaman kita, ada baiknya dipaparkan sebuah ilustrasi yang nantinya mampu mendeskripsikan perbedaan mendasar antara unsur kredibilitas dan daya tarik komunikasi. Tentunya dalam konteks periklanan.

Begini. Tatkala diadakan seminar mengenai Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ), peserta seminar sangat mengharapkan hadirnya pembicara yang berkompeten di bidang media massa. Kredibilitas seorang penyair atau kritikus seni yang samasekali tidak mengetahui perkembangan teknologi komunikasi (atau boleh disebut pengetahuan minim di bidang itu, karena sehari-hari hanya berhubungan dengan dunia seni) adalah amat tidak diperlukan untuk membawakan makalah seputar SCJJ. Kalau saja seorang kritikus seni berkualifikasi seperti di atas dipaksakan berbicara, maka yang terjadi adalah lunturnya kepercayaan peserta seminar terhadap bahasan demi bahasan. Komunikasi di dalam forum seminar menjadi tidak didukung oleh kredibilitas di bidang seperti yang dimaksud.

Tetapi coba lirik salah satu iklan obat. Idealnya yang mengiklankan adalah kalangan kedokteran atau mereka yang bekerja di bidang farmasi, karena dengan begitu masyarakat akan percaya bahwa obat �anu� lebih ampuh untuk menghilangkan rasa sakit, pusing, atau demam misalnya. Nyatanya, artis, pelawak dan juga atlet adalah orang-orang yang banyak menjadi model iklan obat.

Memang benar sakit bisa menimpa siapa saja. Namun toh tidak setiap orang tahu banyak tentang seluk beluk penyakit. Jadi, mengapa bukan dokter, paramedis atau praktisi lainnya di bidang penyakit dan kesehatan yang dijadikan model iklan obat? Bukankah dalam obat-obatan mereka memiliki kredibilitas yang tidak diragukan lagi? Selain karena dilarang di dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) tentang aturan main obat, agaknya kita telah menemukan kesimpulan yang bisa digeneralisasikan untuk semua jenis iklan, bukan hanya iklan obat.

Kesimpulan tersebut adalah, bahwa kredibilitas model iklan (dalam artian back ground yang setaraf dengan produk yang ditawarkan) tidak terlalu berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan oleh calon konsumen. Dengan begitu, maka mengiklankan sebuah mobil misalnya, tidak perlu bersusah payah mencari pembalap nasional untuk modelnya. Atau mengontrak Elton John (penyanyi yang selalu tampil eksentrik dihadapan penontonnya dengan sederet kacamata di wajahnya) tatkala ingin mengiklankan kacamata produk lokal. Sama sekali itu bukan hal yang urgensi untuk ditempuh.

Mengoptimalkan Daya Tarik

Menempelkan atlet, artis atau pelawak terkenal di dalam iklan, lebih disebabkan karena pertimbangan untuk mendongkrak daya tarik iklan. Dalam bukunya Advertising, John W. Crawford mengingatkan pentingnya mengajak khalayak menggunakan daya fantasinya di dalam mempersuasi mereka mengkonsumsi suatu produk.

Dengan gaya fantasi tersebut, mengutip McGuire (pakar media massa), maka akan mempermudah khalayak mengambil peranan pendorong ide (ego enhancing role), dimana khalayak akan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh. Pendapat ini ternyata lebih mengekalkan kiat beriklan yang memilih orang-orang tenar sebagai modelnya. Artis, atlet bahkan pelawak sekalipun, termasuk di dalam barisan orang-orang yang memiliki probabilitas untuk dikagumi masyarakat luas.

Kalau memang begitu, maka ide untuk mengoptimalkan daya tarik yang dimiliki oleh masing-masing model mutlak harus tercuat ke permukaan. Data tarik suaranya, banyolannya, prestasinya atau raut wajahnya, merupakan titik potensial yang bisa digarap secara kreatif untuk tujuan mempersuasi calon konsumen. Hal ini sah saja karena merupakan teknik beriklan yang universal. Kreatif yang di maksud adalah dalam batasan yang tidak meloncati rule of the game yang ada.

Lantas bagaimana dengan iklan yang modelnya kurang dikenal di kalangan masyarakat luas? Sama saja. Ide-ide kreatif masih harus ditonjolkan. Model yang tidak �top� bukan berarti tidak potensial. Terkadang model yang unfamiliar bisa lebih efektif dipakai sebagai komunikator pesan iklan.

Asumsi yang dijadikan panutan adalah karena pada dasarnya manusia menginginkan sesuatu yang baru. Itu kebutuhan manusia yang sudah amat mengakar. Wajah-wajah baru jika dipakai sebagai model iklan, merupan solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun sejauh itu, dalam hal memilih dan menentukan model iklan, terpulang pada tingkat pemahaman kita terhadap esensi tujuan di dalam komunikasi periklanan. Yang terpenting di dalam periklanan bukanlah menyodorkan model iklannya, tetapi produk serta image yang melekat pada produk itu sendiri.

Mengenai keputusan calon konsumen untuk tidak atau mau mengkonsumsi suatu produk, lebih ditentukan oleh frame of reference dan field of oxperience mereka terhadap produk yang ditawarkan, serta pengaruh psikologis daya tarik iklan yang dimenangkan lewat suatu kompetisi.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 25 Oktober 1992
0 Comments and Thoughs for "MENGOPTIMALKAN DAYA TARIK PADA MODEL IKLAN"