KONSEKUENSI IKLAN YANG INGKARI JANJI

Oleh Deddy H. Pakpahan

Seorang pengusaha Real Estate asal Kalimantan merasa amat kecele. Ia mengaku telah dirugikan oleh iklan perusahaan penerbangan Bouraq, yang suatu hari pernah dimuat diharian Banjarmasin Post pertengahan Mei 1992. iklan itu berbunyi begini, �Tukarlah sepuluh lembar tiket bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis�.

Bagi mereka yang sering menggunakan jasa Bouraq, iklan tersebut dijamin pasti menarik. Tetapi tatkala si pengusaha itu membawa 50 lembar tiket bekas (keluaran tahun 1981-1991)ke kantor perwakilan Bouraq sestempat, maka terkejutlah dia. Logikanya, ia membawa pulang lima lembar tiket gratis. Namun apa nasib, yang bisa ditukar dengan tiket gratis adalah tiket Bouraq yang dikeluarkan pada tanggal 5 Agustus 1991 ke atas. Di dalam iklan, keterangan tersebut tidak disertakan. Alasannya lumayan lucu, takut mengganggu lay-out iklannya. Ketidak lengkapan inilah yang menyulut sebuah permasalahan. Pengusaha yang merasa �ditipu� itu malah akan mengadukannya kepada pihak berwajib.

Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Banjarmasin, Arpawi Ramon mengatakan, tidak ada cara lain bagi Bouraq kecuali menepati janjinya (memberi tiket gratis). Yusca Ismail, ketua P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia)menggaris bawahi, iklan itu sudah melanggar kode etik periklanan. Sedangkan pengacara kondang T. Mulya Lubis lebih �hot� menanggapi, dimana iklan Bouraq divonis telah menyesatkan konsumen, selain telah melanggar pasal 1365 KUH Perdata (seperti dimuat dalam Tempo, 6 Juni 1992).

Karena negara kita adalah negara hukum, maka setiap warga negara yang merasa dirugikan --moril maupun materil�bisa menuntut ke lembaga peradilan sesuai dengan jalur yuridis formal yang ada. Mereka yang dirugikan mempunyai hak untuk menggugat (Standing to Use).

Akan halnya menggugat suatu tampilan iklan, agaknya bukan lagi ihwal baru. Awal Mei 1992 saya mencatat sebuah peristiwa menarik, gugat-menggugat itu tadi. Pihak Developer yang membangun komplek perumahan Pondok Maritim Indah di Surabaya, digugat ke pengadilan oleh 167 penghuni kompleks hunian tersebut. Mereka merasa amat dirugikan karena di dalam brosur dan iklan, pihak Developer menjanjikan bahwa daerah tersebut bebas banjir. Nyatanya, gombal! Singkat kata, di persidangan para penggugat memenangkan perkara hukum ini. Dan pihak Developer akhirnya diwajibkan untuk mengganti semua biaya kerugian yang telah ditanggung oleh masyarakat. Ini tentunya sebuah beban konpensasi materil yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Iklim persaingan dunia usaha yang semakin kompetitif, memang telah memberikan dampak yang hebat terhadap dunia periklanan. Iklan pun menjadi semakin kompetitif dalam memberikan janji. Mencermati iklan-iklan yang ada sekarang ini, tidak berlebihan bila ragam janji yang digelar --berupa kualitas produk atau jasa pelayanan--mirip seperti barang �obralan�. Tendensi yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk mengungguli para pesaing. Tetapi bisa menjadi tidak wajar --dan nafas sarkasme mengatakan �kurang ajar�-- apabila janji tidak membuahkan kenyataan.

Daya Tarik Janji

Sebelum larut dalam masalah ini, kita ingin mencoba menelaahnya dari pendekatan yang tidak terlampau teoritis.

Para orang tua, agar anak-anak mereka rajin belajar, biasanya memberikan beberapa untai janji. Bila mereka berprestasi baik di kelas, mendapat juara satu, dua atau tiga, mereka dijanjikan sepeda baru. Di sini, sebuah janji harus ditebus dengan semangat belajar si anak. Apa yang harus direalisasikan setelah si anak memperoleh juara satu, misalnya? Tidak lain adalah membelikan sebuah sepeda baru. Jika itu yang terjadi, maka kepercayaan antara kedua pihak sudah bisa dibina (apalagi kalau sepeda itu, warna atau bentuknya, sesuai dengan yang dijanjikan).

Lantas apa kaitan cerita ini dengan iklan? Cerita diatas hanya ingin dipakai sebagai cermin, yakni untuk membina rasa saling percaya. Dimana janji yang telah dijanjikan oleh pengiklan mesti ditepati. Namun pada kenyataannya, formulasi timbal balik yang demikian ini tidak berlaku. Maksudnya, pengiklan sudah merasa cukup puas tatkala janji hanya sekedar menjadi daya tarik (Appeal). Mereka tidak mau ambil pusing, apakah janji yang ditawarkan sudah terbukti dan telah memuaskan hati konsumen yang sebelumya terpikat janji.

Tidak bisa dipungkiri bahwa janji itu, termasuk janji di dalam iklan, memang menarik. Bayangkan beli dua dapat gratis satu, beli sabun dapat gelas, dan entah beli apa lagi yang di penuhi janji. Sekarang tengok iklan Bouraq. Bukankah itu sangat menarik bagi para pelanggan Bouraq, terutama mereka yang hobi mengumpulkan tiketnya, termasuk seorang pengusaha itu. Namun pada sisi lain, terlihat bahwa janji di dalam iklan seringkali dimanipulasi untuk memperdaya (To Deceive) calon konsumen.

Kalau alasan lay-out yang dikemukakan untuk membela diri �cuci tangan� bukankah ini merujuk pada apa yang disebut sebagai sikap infantilis (kekanak-kanakan) dalam berbisnis. Bukankah daya kreatif dari penggarap iklan harus bisa menyiasati segala keterbatasan yang ada. Bukan memakai keterbatasan itu sebagai alas an untuk sebuah apologi. Informasi yang lengkap dan jelas dari sebuah iklan harus bisa ditonjolkan dan memperoleh perhatian konsumen. Kalau informasi disertakan secara lengkap dan jelas, maka tidak akan ada lagi pihak yang menyesatkan dan pihak yang merasa disesatkan.

Dimensi Futuris


Aktivitas bidang periklanan di tanah air, secara umum memang belum sampai pada taraf yang Shopisticated. Premis ini bisa terbukti dengan melihat tidak sedikit tampilan iklan yang masuk kategori menyesatkan konsumen. Atau, bisa juga disebut masih berbenturan dengan kode etik periklanan.

Suatu kali Yusca Ismail mengemukakan, bahwa pelanggaran dalam praktek periklanan sering dilakukan oleh biro-biro iklan yang tidak tergabung dalam P3I. Otomatis P3I tidak bisa mengambil tindakan. Ditambahkannya, pelanggaran itu bukan hanya dilakukan oleh biro-biro iklan kecil. Tetapi juga yang kelas kakap (Warta Konsumen, Maret 1992).

Kembali pada kasus iklan Bouraq, benar apa yang telah dilansir ketua P3I itu, bahwa iklan Bouraq tersebut memang bukan digarap oleh biro iklan yang terdaftar dalam P3I, tetapi oleh perusahaan Bouraq sendiri. Langkah ini diambil, mungkin karena anggaran yang dimiliki perusahaan kurang memungkinkan untuk mampu menebus hasil kerja kreatif insan periklanan. Lagian, tidak ada hukum atau undang-undang yang mengatur, bahwa iklan harus dibuat di biro iklan. Yang menjadi inti masalah sebenarnya adalah bukan oleh siapa iklan itu dibuat, tetapi bagaimana seharusnya iklan itu ditampilkan.

Tidak sedikit iklan menyertakan janji sebagai daya tarik sekaligus alat untuk memperdaya massa. Dalam hal ini, pengiklan hanya berusaha menciptakan loyalitas konsumen yang semu terhadap suatu produk. Kecenderungan negatif ini hanya berhasil mengeruk profit yang sifatnya sementara saja, tidak langgeng.

William Howlet, President Consolidated Foods Coorporation dalam pidatonya didepan konferensi nasional American Marketing Association pernah mengapungkan kiat jitu bagi suatu proses aktivitas bisnis. Katanya, �PROFIT� adalah kependekan dari Profer Return On Fund Invested Today and Tomorrow (laba yang cukup atas investasi sekarang dan juga investasi di masa mendatang). Nah, iklan yang orientasinya hanya keuntungan masa sekarang, sungguh harus kita tinggalkan. Singkatnya, orientasi iklan harus pula mengacu pada dimensi futuris, dimensi yang menatap jauh ke depan.

Tipu Daya Iklan

Tidak jarang kita menemukan iklan yang dipenuhi janji-janji seperti setiap pembelian tiga buah �anu� anda akan memperoleh sebuah �anu�. Atau, bagi 2.000 pengirim pertama akan memperoleh seperangkat �anu�. Ada juga iklan yang diembel-embeli kata selama persediaan masih ada.

Untaian kalimat yang mengandung iming-iming itu, secara psikologis minimal akan mempengaruhi tindakan calon konsumen untuk membelli suatu produk. Namun kalau kita mau berpikir lebih kristis --dalam artian mempertimbangkan segi negatif dari janji yang diberikan-- bisa jadi semua itu hanya tipuan. Dalam periklanan lazim disebut sebagai Advertising Gimmick (tipu daya iklan).

Bagaimana mungkin masyarakat konsumen mengetahui jumlah hadiah secara pasti yang dijanjikan. Atau bagaimana caranya konsumen bisa mengetahui, sudah berapa orang mengirimkan tube sebuah shampo untuk ditukar dengan sebuah hadiah ketidak tahuan inilah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak pengiklan. Mereka (mungkin) hanya menyediakan beberapa hadiah, sebagai formalitas saja. Tatkala konsumen menagih hadiahnya, dengan enaknya meluncur perkataan, �Wah maaf, persediaan hadiah sudah habis�. Kalau begitu, konsumen mau bilang apa�?.

Pengiklan --jika melakukan aktivitas ragam undian atau janji-- seharusnya bisa bersikap jujur. Kalau saja persediaan hadiah sudah habis, alangkah baiknya diinformasikan kepada konsumen. Walau secara materi nilainya tidak seberapa, hadiah itu bisa jadi mempengaruhi loyal tidaknya konsumen terhadap suatu produk tertentu.

Konsekuensi Mengingkari Janji

kita sebenarnya sudah bisa menebak, apa kira-kira yang akan terjadi ketika iklan terbukti mengingkari janji. Ya, iklan yang mengingkari janji, (produknya) bisa saja tidak lagi dipercaya oleh konsumen. Apalagi kini, masyarakat sudah berani menggugat iklan-iklan yang dianggap merugikan mereka. Ini merefleksikan bahwa praktek periklanan bukannya terbebas dari kontrol massa. Pada titik ini, pihak pengiklan agaknya telah dihadapkan pada suatu tantangan, yakni bagaimana menciptakan iklan yang sehat, yang isinya adalah kejujuran tanpa janji �janji yang menyesatkan. Semua ini, tentunya untuk menguatkan benang hubungan baik antara pihak pengiklan dan masyarakat, dimana ada semacam simbiosis mutualis --hubungan saling menguntungkan--.

Di dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI), ihwal tipu-menipu dengan janji ini juga tidak bisa ditolerir. Tapi mengapa kasus, dimana iklan bertindak sebagai �Tuti� (Tukang Tipu) ini masih berlangsung. Sekali lagi, itu adalah kendala sekaligus tantangan untuk membangun iklim beriklan yang sehat dikalangan penggarap iklan dan pengiklan kita.


Dimuat pada harian Bisnis Indonesia, 14 Juni 1992
0 Comments and Thoughs for "KONSEKUENSI IKLAN YANG INGKARI JANJI"