BAHASA INDONESIA DALAM IKLAN

Oleh Deddy H. Pakpahan

Penggunaan Bahasa Indonesia (BI) yang baik dan benar, di bulan Oktober selalu menjadi tema sentral yang banyak memperoleh sorotan. Wajar saja, karena bulan Oktober telah dicanangkan sebagai �Bulan Bahasa�. Bulan yang mungkin penuh sesak dengan imbauan agar masyarakat dan bangsa ini bergiat diri menggunakan bahasa nasionalnya --sekali lagi-- secara baik dan benar.

Dalam proses komunikasi dikenal adanya hambatan yang disebabkan karena �gagap bahasa� atau hambatan semantik (semantic noise factor), yakni hambatan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan komunikator dalam mengungkapkan dan menggunakan suatu bahasa. Hambatan ini seringkali menjadikan strategi komunikasi majal alias tumpul. Akibatnya tentu sangat fatal, dimana pesan yang akan disalurkan tidak bisa diterima dengan baik oleh komunikan (penerima pesan).

Konsekuensi yang kurang menguntungkan ini berlaku universal bagi semua bentuk dan jenis komunikasi, tidak terkecuali pada komunikasi periklanan.

Masyarakat periklanan di Indonesia, sebagai komunitas pelaku bisnis yang memiliki daya kreativitas dalam menciptakan ragam bentuk iklan --secara langsung maupun tidak langsung-- juga dituntut untuk bertanggung jawab dalam usaha pembinaan dan pengembangan BI.

Seperti tertulis di dalam Pasal 36 UUD 1945 yakni: �Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia�, maka cukup jelas bahwa setiap warga negara mengemban tugas tersebut. Kalau memang begitu, masyarakat periklanan pun (seyogyanya) harus terlibat aktif dalam misi ini. Sederhananya, kreativitas dari para kreatif periklanan --mau tidak mau-- harus menjunjung tinggi BI dengan cara: tidak mengacaukannya!.

Namun kenyataannya, masih banyak dijumpai karya iklan yang tidak mengindahkan aturan atau tata cara berbahasa Indonesia yang baik dan (apalagi) benar. Yang menjadi masalah sekarang, penggunaan kosa kata dari kandungan BI yang telah dibakukan --jika dicomot untuk naskah iklan-- malah dianggap menjadikan iklan berpenampilan �kaku�. Dengan begitu, sulit bagi iklan tersebut untuk bisa berakrab-ria dengan masyarakat.

Pola pikir yang demikian ini --BI baku menjadikan iklan tampil �kaku�-- banyak diyakini oleh para penggarap iklan (para creative director atau copywriter). Maklum saja, posisi sebagai creative director atau copywriter masih banyak diduduki oleh kaum ekspatriat alias pekerja asing yang mencari nafkah di negeri ini. Tentunya, mereka tidak mau strategi iklannya gagal, hanya lantaran tidak mengerti menyusun naskah iklan dengan BI. Kenyataan ini bertambah parah, karena di dalam masyarakat berlaku semacam �kesepakatan�, bahwa menggunakan bahasa asing dapat meningkatkan gengsi mereka.

Bahasa Punya Peranan Vital

Bahasa adalah alat komunikasi paling primer. Banyak orang mempelajari bahasa dengan alasan agar mereka bisa lebih mudah memperoleh, mengolah, dan memahami informasi. Atau untuk menghalangi terjadinya semantic noise factor tatkala orang tersebut harus terlibat dalam proses komunikasi face to face. Bahkan tidak berlebihan bila disebut, tanpa mampu berkomunikasi dengan lingkungannya, seseorang (mungkin) tidak dapat hidup berlama-lama di dunia ini.

Boleh percaya, tidak pun boleh. Pada sekitar abad 13, kaisar kerajaan Romawi, Raja Frederick II pernah mengadakan eksperimen yang �gila-gilaan�. Ia memilih beberapa orang bayi dan merawatnya dalam suatu tempat khusus. Bayi-bayi itu dimandikan, disusui, dan dirawat secara teratur. Tetapi tidak seorang pun diperbolehkan berbicara atau menyenandungkan kidung-kidung penghantar tidur buat bayi-bayi itu.

Selang beberapa kemudian apa yang terjadi? Ternyata semua bayi yang menjadi �kelinci percobaan� itu meninggal secara misterius. Eksperimen itu tidak pernah dilakukan untuk kedua kalinya (Rakhmat, 1986).

Walau cukup mendebarkan, mudah-mudahan ilustrasi di atas bisa menyeragamkan pola pikir kita, bahwa peranan bahasa --yang berfungsi sebagai alat komunikasi-- teramat vital dalam kehidupan manusia.

Baku, Kaku, dan Tak laku

Secara fungsional bahasa bisa ditranslasikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared means for expressing ideas). Dalam konteks ini, bahasa hanya bisa dipahami bila terdapat kesepakatan di antara anggota kelompok sosial yang menggunakannya.

Peter Farb dalam �Values and Voices: A College Reader� (1981) bahkan menambahkan: bahasa bukan sekadar berfungsi sebagai alat menyampaikan gagasan, tetapi dapat mempertajam gagasan itu sendiri. Bila ini kita cermati, bahasa ternyata bukan sekadar simbol atau lambang bunyi, tetapi juga alat yang tepat dipakai untuk mencapai suatu tujuan.

Sedangkan secara formal, bahasa merupakan semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut aturan tata bahasa (all the conceivable sentences that could be generated according to the rules of grammar). Disini tata bahasa (yang menurut A. Miller terdiri dari fonologi, sintaksis, dan semantik) penting untuk dihadirkan, menurut aturannya. Tidak bisa tidak.

Mencermati penggunaan bahasa di dalam naskah iklan, maka yang tampak mendapat penekanan adalah fungsi bahasa itu sendiri. Jadi bukan susunan tata bahasa ynag diperhitungkan. Yang terpenting adalah, bagaimana caranya membuat naskah iklan yang mudah dimengerti dan terdengar �akrab� dengan telinga masyarakat.

PT National Motors Co., pemroduksi kendaraan Mazda jenis MR-90 di Indonesia, hadir dengan iklan berjudul �Mesinnya OK Banget�. Kata �OK� dan �banget�, membuat kita pusing ketika harus mencarinya di dalam kamus besar BI. Kalau mau menggunakan BI yang baik dan benar, kata �OK� dan �Banget� seharusnya bisa diganti menjadi ��Tangguh Sekali� atau kalimat lainnya yang mencerminkan tema kekuatan. Mengapa justru kalimat pertama yang dipakai? Jawabnya, tentu saja karena kata �OK Banget� lebih akrab di telinga masyarakat dan bisa menjadikannya lebih komunikatif.

Apa yang sedang digandrungi oleh masyarakat atau �ngetrend� adalah sangat potensial untuk dieksploitir, bahkan kalau perlu dimanipulasi. Karena iklan berhadapan langsung dengan masyarakat, maka sajian iklan harus �diasimilasikan� atau diupayakan agar sinkron dengan tendensi baru serta bentuk-bentuk perubahan --baik karena faktor eksternal maupun internal-- yang terjadi di dalam masyarakat. Ini harus dilakoni jika iklan ingin digubris massa.

Tampaknya para penggarap iklan telah menangkap sinyal, bahwa ungkapan-ungkapan, kata-kata, atau kalimat-kalimat yang sering dipakai dalam konversasi antar individu layak dipakai sebagai bagian naskah iklan. Lihat saja iklan di majalah-majalah kaum remaja yang hadir dengan naskah bergaya remaja. Banyak diantaranya yang menggunakan bahasa �prokem�, seperti kata �doi� (= kekasih/pacar) untuk mengiklankan produk wewangian, atau �spokat� (= sepatu) untuk mengiklankan sepatu yang sedang �nge-trend�.

Kemudian tengok cara produsen BMW memasarkan �BMW Card� (tentu untuk para pemilik sedan BMW). Biro iklan Matari, yang menggarap iklan ini, membuat judul iklan begini: �The key to Your Exclusive Benefits�. Terlintas dalam benak kita, mengapa menggunakan bahasa Inggris? Padahal, uang ditawarkan �BMW Card� adalah orang Indonesia. Tak lain dan tak bukan, jawabannya karena bahasa Inggris (dianggap) mampu memberikan prestise atau gengsi tersendiri di kalangan kaum �the haves�. Dan sudah pasti, segala bentuk prestise agaknya �komunikatif� untuk mengakrabkan kalangan berkocek tebal dengan suatu produk.

Sampai sekarang memang belum ada aturan yang memikat secara tegas tentang keharusan menggunakan BI di dalam tampilan iklan. Isi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) pun hanya menyerukan, agar iklan menggunakan bahasa yang baik dan istilah-istilah yang tepat. Tidak dijelaskan, bahasa apa yang harus dipakai dalam beriklan.

Kenyataan lainnya, tidak sedikit naskah iklan menggunakan bahasa asing dicampur dengan BI. Alhasil inilah embrio yang menjadikan wajah iklan kita nyaris mirip �gado-gado� alias campur aduk, atau yang oleh sebagian praktisi periklanan Indonesia disebut bersifat �banci�.

Kesimpulan yang ada mengatakan, bahwa bahasa iklan memang teramat plastis. Artinya, ia bisa berubah-ubah tergantung kepentingan apa yang menempel pada produk, juga untuk siapa produk tersebut ditujukan. Tetapi ini bukanlah alasan yang tidak bisa disangkal, dimana para pencipta iklan sama sekali tidak mengindahkan keberadaan BI.

Terakhir, bila kita mengingat sebuah ungkapan bahwa �Bahasa menunjukan bangsa�, agaknya kita tidak patut berbangga hati menatap iklan-iklan garapan biro iklan negeri sendiri, yang �nyombong� menempelkan bahasa asing dalam naskah iklannya sementara produk itu dipasarkan disini. Konsekuensinya, wajah periklanan kita --terutama pada aspek penggarapan naskah iklan-- secara akumulatif akan kehilangan identitasnya. Sebuah tugas yang masih harus diselesaikan adalah, bagaimana membuat naskah iklan dengan Bahasa Indonesia (yang baik dan benar) tanpa merusak image atau prestise dari produk yang ditawarkan. Tugas lainnya, bagaimana menepis asumsi yang mengatakan, bahwa menggunakan Bahasa Indonesia menjadikan iklan tampil �kaku� dan menjadikan produk tak laku. Selamat berbulan bahasa.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia, 18 Oktober 1992
0 Comments and Thoughs for "BAHASA INDONESIA DALAM IKLAN"